Kamis, 09 April 2015

HUBUNGAN BAHASA DAN FAKTOR SOSIAL


HUBUNGAN BAHASA DAN FAKTOR SOSIAL

A.  Pengertian Kelas Sosial
Menurut Sumarsono (2002: 43) Kelas sosial (scocial class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya. Seorang individu mungkin mempunyai setatus sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dikeluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru jika dia guru disekolah negeri, dia juga masuk kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.

B.  Hubungan Bahasa dengan Konteks Sosial
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi atau sistem kerabat Antropologi bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial egulatory yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk menerangkan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi. Perkembangan bahasa yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan.
Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
            Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini.
  1. Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya.
  2. Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
            Menurut Chaer (2010:62) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan Bell (dalam Coupland dan Adam, 1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula. Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

C.  Hubungan Bahasa dengan Jenis Kelamin
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa factor yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Di dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan bahasa sebagai bagian social, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan social, politik, budaya, dan hubungan usia dalam sebuah masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa wanita sadar di dalam masyarakat status mereka lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari pada laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan antara pria dan wanita memang terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita terlihat lebih gemuk namun tidak berotot dan wanita lebih lemah dibanding dengan pria. Begitu juga dengan suara, wanita mempunyai suara yang berbeda dengan pria. Di samping itu, factor sosiokultural juga mempengaruhi perbedaan dintara keduanya dalam berbahasa atau berbicara. Misalnya, di dalam bidang pekerjaan, wanita memiliki peran yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Janet Holmes, women "are designated the role of modelling correct behaviour in the community." Dalam sudut pamdang ini, di dalam berbicara wanita diharapkan lebih sopan. Namun, ini tidak selalu benar. Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan anaknya atau suami dan istri biasanya tidak formal, diselingi dengan colloquial atau bentuk ujaran sehari-hari. Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran yang “keras”, seperti damn atau shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin Lakoff percaya bahwa syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag, seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Selain itu ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan berbahasa antara pria dan wanita, diantaranya dalam fonologi, morfologi, dan diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh pria). Di scotlandia, kebanyakan wanita menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sedangkan prianya lebih sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan glottal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata untuk warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang mana kata-kata ini jarang digunakan oleh pria. Selain itu, wanita juga sering menggunakan kata sifat, seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet.
Dilihat dari diksi, wanita memiliki kosa kata sendiri untuk menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Di samping itu bhasa inggris membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti actor-actress, waiter-waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan perbedaan yang serupa adalah boy-girl, man-woman, bachelor-spinter dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dari sebagian komunitas masyarakat yang tidak kentara bahwa perbedaan ini dibuat, dalam pilihan kosa kata, digunakan untuk menggambarkan masing-masing peranan yang dipegang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria. Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka (wanita) sering digunakan kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sedangkan topic yang dibicarakan oleh wanita lebih menjurus kepada masalah kehidupan social, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.

D.  Hubungan Bahasa dengan Usia
            Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata tidak didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat di pahami dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya study pragmatik dalam lingustik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah satunya adalah bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.

E.  Hubungan Bahasa dengan Seni dan Religi
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal. Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh. Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok sosial.
Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki setiap manusia dan bahasa itu dapat berkembang karena akal atau sistem pengetahuan manusia. Dalam proses kehidupannya, manusia kemudian menyadari dirinya sebagai makhluk yang lemah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, maka lahirlah keyakinan didalam diri manusia bahwa ada kekuatan lain yang maha dahsyat di luar dirinya. Timbul dan berkembanglah religi. Untuk mengiringi kepercayaan atau sistem religi itu supaya lebih bersemangat dan lebih semarak maka diciptakanlah seni. Berdasarkan uraian di atas, hubungan bahasa, seni dan agama/religi/kepercayaan adalah kesenian menyempurnakan dan menyemarakkan sistem religi dengan menggunakan media bahasa.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan. Menurut Robert Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat diperinci:
1. Bahasa sebaga sarana pengembangan kebudayaan.
2. bahasa sebagai penerus kebudayaan.
3. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan.
Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, untuk mengembangkan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia dijelaskan dan disebarkan melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung masyarakat itu sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa sebagai sarana pengembangan kesenian dan religi. Kesenian dan religi yang ada di Indonesia dikembangkan melalu bahasa Indonesia. Kesenian dan religi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah kesenian dan religi yang dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sarana untuk memahami kesenian dan religi adalah bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Menurut Robert Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang yang meliputi pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan sebagainya dapat kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Kesenian dan religi nenek moyang kita yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu masih bisa dipelajari oleh kita sekarang hanya karena bantuan bahasa. Kesenian dan sistem religi yang tertulis dalam naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis beratus-ratus tahun lalu bisa kita nikmati sekarang hanya karena ditulis dalam bahasa.
Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu unsur kebudayaan baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai dari unsur terkecil sampai unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus berfungsi sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk pengembangan selanjutnya. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan sistem religi adalah bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan unsur-unsur kesenian dan religi baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti oleh yang menerimanya. Setiap unsur kesenian dan religi, dari unit yang terkecil sampai yang terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kesenian dan religi. Nama atau istilah itu digunakan untuk menginventarisasi kesenian dan religi tersebut untuk pengembangan selanjutnya.
Bagaimanakah hubungan religi dengan kesenian? Menurut William A. Haviland (1999), “kesenian harus dihubungkan dengan, tetapi juga harus dibedakan dari agama. Garis pemisah di antara keduanya tidak tegas.” Kesenian dan religi sangat berhubungan, hubungan yang erat itu melahirkan kesenian religi yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan. Dengan diringi berbagai jenis sastra, nyanyian dan musik, upacara keagamaan berlangsung dengan semarak, khidmat dan turut membantu mewujudkan situasi dan keadaan yang membuat umatnya terasa semakin lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian adalah sebagai sarana penyaluran bakti dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

F.   Hubungan Bahasa dengan Budaya atau Geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakanbagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.begitu pula Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubunganantara bahasa dan kebudayaanmerupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasadan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwabahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia.Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia didalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai saranaberlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekalibagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. Komponen-komponen lingkungan hidup tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik adalah makhluk hidup yang meliputi hewan, tumbuhan danmanusia. Komponen abiotik adalah benda-benda tak hidup (mati) antara lain air,tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Semua komponen yang berada di dalamlingkungan hidup merupakan satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk sistem kehidupan yangdisebut ekosistem.Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yangdisebut ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu kesatuan fungsional antara komponen biotik dan komponen abiotik.Ekosistem merupakan suatu interaksi yang komplek dan memiliki penyusunan yang beragam.Efek langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia tidaklah mudahdirumuskan.Definisi perubahan iklim dan efek langsung bervariasi. Iklim mencakup perubahan suhu permukaan bumi, yang dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan lingkungan biota suatu daerah.Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat di muka bumi. Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju,tumbuhtumbuhan, dan setelah itu hewan,termasuk organisme mikro. Jika kita analisis perubahan suhu permukaan salah satu bagian bumi, sebagai penyebab perubahan lainnya, maka efek yang paling langsung terhadap kesehatan masnusia adalah efek ekstrim dingin dan ekstrim panas,relatif terhadap rentang suhu yang toleransi manusia, tanpa manipulasi diri atau lingkungan.Ketika gelombang panas melanda Eropa,banyak kematian penduduk lanjut usia tidak terhindarkan. Seperti dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas yang menyerang Perancis di bulan Juli dan Agustus 2003telah menewaskan lebih dari 14.800 orang.Kematian tersebut merupakan dampak langsung dariiklim ekstrim panas.sesungguhnya efek iklim terhadap kesehatan secara tidak langsung sudahdikenal sejak lama. Kita mengenal siklusdemam berdarah yang terkait dengan musim hujan. Begitu juga dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim melalui perubahan kehidupan vektor atau bahan bahan transmisi penyebab penyakit.
Geografi agama dikembangkan oleh beberapa tokoh antara lain Jongeneel,P. Deffontaines, dan D.E. Sopher.Geografi agama bukan hanya menelaah pengaruh ruang atas agama dan gejala keagamaan namun juga sebaliknya yakni pengaruh agama dan gejala keagamaan atas keruangan.Relasi antara agama dan tata ruang sebenarnya sudah diketahui sejak zaman kuno, salah satu tokohnya yaitu Hippocrates namun baru mulai populerdi zaman filsuf pencerahan salah satunya oleh Montesquieu di Prancis.Montesquieu mengungkapkan bahwa agama monotheisme seprti Yahudi,Kristen, dan Islam lahir di tepi-tepi gurun pasir dengan bentang alam yang monoton diungkapkanpula bahwa hampir semua agama besar muncul diwilayah permukaan bumi yang diapit 25 dan 35 derajat Lintang Utara. Deffontaines membicarakan geografi agama dalam 5 pokok:
1.   Agama dan geografi sebagai tempat kediaman baik bagi orang yang masih hidup maupun bagi yang sudah matiserta bagi dewa-dewa.
2.   Agama dan penduduk; pengaruh agama atas daerah dan sejarah penduduk; agama dan macam-macampenduduk; agama dan kota-kota; agama dan demografi.
3.   Agama dan eksploitasi; agama dan pertanian; agama dan peternakan; agama dan industri; agama danpotensi geografis daerah.
4.   Agama dan lalu lintas; pengungsianpara penganut agama; kegiatan ziarah; perdagangan dan pertukaran barang atas latar belakang agama; jalan sebagai alat transportasi.
5.   Agama dan jenis kehidupan; kalender agama; tata kerja pemimpin agama; pekerjaan sehari-hari kebiasaan.
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
a.       Alat-alat teknologi.
b.      Sistem ekonomi.
c.       Keluarga.
d.      Kekuasaan politik-Politik.
Bronislaw Malinowski mengatakanada 4 unsur pokok yang meliputi:
1.      Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2.      Organisasi ekonomi.
3.      Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembagapendidikan utama).
4.      Organisasi kekuatan (politik).
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakarlangit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

G.  Hubungan Bahasa dengan Pranata Sosial
Kehidupan bermasyarakat selalu menimbulkan hubungan antar manusia dalam suatu lingkungan kehidupan tertentu. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain untuk berinteraksi dan saling memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
 Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. 
Tiga kata kunci di dalam pembahasan mengenai pranata sosial adalah:
1.      Nilai dan Norma;
2.      Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum, dan
3.      Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
 Menurut Koenjaraningrat (1978) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
 Pranata sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan seiring dengan semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Mata Kuliah Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa

Badudu, J.S.1989. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia  Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa

Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung:Angkasa

Trudgill, P.1974, Sociolinguistics: An Introduction, England: Penguin.

Labov, W. 1966 “Hypercorrection by the Lower Middle Class as a Factor in Linguistic Change”, dalam W.Bright, Sosiolinguistics, The Hague:Mouton.

Hasan, Kailani. 2001. Linguistik Umum dan Sosiolinguistik Pekanbaru: Universitas Riau Press.

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar