HUBUNGAN BAHASA DAN FAKTOR SOSIAL
A.
Pengertian
Kelas Sosial
Menurut Sumarsono (2002: 43) Kelas sosial (scocial
class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu
dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan,
kasta dan sebagainya. Seorang individu mungkin mempunyai setatus sosial yang
lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dikeluarganya, yang juga
berstatus sosial sebagai guru jika dia guru disekolah negeri, dia juga masuk
kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas
sosial golongan “terdidik”.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota
masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para
anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para
anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari
status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas
sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang
lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.
B. Hubungan Bahasa dengan Konteks
Sosial
Manusia
adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu
berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang
memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan
antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang
Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa
“Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa,
fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan
berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi atau sistem kerabat Antropologi bisa juga melibatkan
geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala,
Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu
ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial
egulatory yaitu untuk membentuk
arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi
imajinatif yaitu untuk menerangkan alam fantasi serta fungsi emosi seperti
untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Perkembangan bahasa yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad
modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan
bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa
seperti jargon dan argot.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh
masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para
penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan.
Pertama, variasi itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah
ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat
yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik,
bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi merupakan gejala
sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan
oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik.
Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah
ini.
- Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya.
- Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Menurut Chaer (2010:62) variasi
bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi
sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan
dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan Bell (dalam
Coupland dan Adam, 1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling
menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah
penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau
kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau piilihan berbicara
dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang
berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula. Jadi, berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam
bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa
mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.
C.
Hubungan Bahasa dengan Jenis Kelamin
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan
jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan
yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara
wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa
factor yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering
dibanding pria. Di dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan
bahasa sebagai bagian social, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan
keruwetan jaringan social, politik, budaya, dan hubungan usia dalam sebuah
masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa
wanita sadar di dalam masyarakat status mereka lebih rendah dari pada
laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari pada
laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan
antara pria dan wanita memang terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita
terlihat lebih gemuk namun tidak berotot dan wanita lebih lemah dibanding
dengan pria. Begitu juga dengan suara, wanita mempunyai suara yang berbeda dengan
pria. Di samping itu, factor sosiokultural juga mempengaruhi perbedaan dintara
keduanya dalam berbahasa atau berbicara. Misalnya, di dalam bidang pekerjaan,
wanita memiliki peran yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Janet Holmes, women "are
designated the role of modelling correct behaviour in the community."
Dalam sudut pamdang ini, di dalam berbicara wanita diharapkan lebih sopan.
Namun, ini tidak selalu benar. Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan
anaknya atau suami dan istri biasanya tidak formal, diselingi dengan colloquial
atau bentuk ujaran sehari-hari. Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk
seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran yang “keras”, seperti damn atau
shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin Lakoff percaya bahwa
syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag,
seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Selain itu ada beberapa penyebab
terjadinya perbedaan berbahasa antara pria dan wanita, diantaranya dalam
fonologi, morfologi, dan diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan wanita
memiliki beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika wanita menggunakan
palatal velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita)
dan djatsa (diucapkan oleh pria). Di scotlandia, kebanyakan wanita menggunakan
konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sedangkan prianya lebih
sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan glottal tak beraspirasi. Dalam
bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata
untuk warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang mana kata-kata
ini jarang digunakan oleh pria. Selain itu, wanita juga sering menggunakan kata
sifat, seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet.
Dilihat dari diksi, wanita memiliki
kosa kata sendiri untuk menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan
ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Di samping itu
bhasa inggris membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti
actor-actress, waiter-waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan
perbedaan yang serupa adalah boy-girl, man-woman, bachelor-spinter dan lain
sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dari sebagian komunitas
masyarakat yang tidak kentara bahwa perbedaan ini dibuat, dalam pilihan kosa
kata, digunakan untuk menggambarkan masing-masing peranan yang dipegang antara
laki-laki dan perempuan. Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria.
Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka (wanita) sering digunakan
kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi,
biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik,
materi formal, atau pajak. Sedangkan topic yang dibicarakan oleh wanita lebih
menjurus kepada masalah kehidupan social, buku, makanan, minuman, dan gaya
hidup.
D.
Hubungan Bahasa dengan Usia
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata tidak
didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas
dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan
mengikuti kecenderungan dalam etnometologi, bahasa digunakan oleh masyarakat
tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka
ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat di pahami dan memang sering kita
temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang
tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat
tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa,
makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan
pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya study pragmatik dalam lingustik,
terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah satunya adalah
bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa
pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.
E.
Hubungan Bahasa dengan Seni dan Religi
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang
tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni
dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal.
Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa
menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh.
Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena
manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok
sosial.
Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi,
manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki
setiap manusia dan bahasa itu dapat berkembang karena akal atau sistem
pengetahuan manusia. Dalam proses kehidupannya, manusia kemudian menyadari
dirinya sebagai makhluk yang lemah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya,
maka lahirlah keyakinan didalam diri manusia bahwa ada kekuatan lain yang maha
dahsyat di luar dirinya. Timbul dan berkembanglah religi. Untuk mengiringi
kepercayaan atau sistem religi itu supaya lebih bersemangat dan lebih semarak
maka diciptakanlah seni. Berdasarkan uraian di atas, hubungan bahasa, seni dan
agama/religi/kepercayaan adalah kesenian menyempurnakan dan menyemarakkan
sistem religi dengan menggunakan media bahasa.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur
kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari
segala kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga
diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan. Menurut Robert
Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat diperinci:
1. Bahasa sebaga sarana pengembangan
kebudayaan.
2. bahasa sebagai penerus kebudayaan.
3. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri
kebudayaan.
Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan
mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan,
untuk mengembangkan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan
melalui bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia dijelaskan dan
disebarkan melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa
terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung masyarakat
itu sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Atas dasar itu,
hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa sebagai sarana
pengembangan kesenian dan religi. Kesenian dan religi yang ada di Indonesia
dikembangkan melalu bahasa Indonesia. Kesenian dan religi yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia adalah kesenian dan religi yang dapat dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sarana untuk memahami kesenian dan religi
adalah bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan
mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari
generasi ke generasi. Menurut Robert Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang
yang meliputi pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan
sebagainya dapat kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa.
Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa
berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi.
Kesenian dan religi nenek moyang kita yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu
masih bisa dipelajari oleh kita sekarang hanya karena bantuan bahasa. Kesenian
dan sistem religi yang tertulis dalam naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis
beratus-ratus tahun lalu bisa kita nikmati sekarang hanya karena ditulis dalam
bahasa.
Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan
mengandung makna bahwa bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu
unsur kebudayaan baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert
Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai dari unsur terkecil sampai
unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan
pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus
berfungsi sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk
pengembangan selanjutnya. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan sistem
religi adalah bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan unsur-unsur
kesenian dan religi baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti oleh yang
menerimanya. Setiap unsur kesenian dan religi, dari unit yang terkecil sampai
yang terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan
pengajaran kesenian dan religi. Nama atau istilah itu digunakan untuk
menginventarisasi kesenian dan religi tersebut untuk pengembangan selanjutnya.
Bagaimanakah hubungan religi dengan kesenian?
Menurut William A. Haviland (1999), “kesenian harus dihubungkan dengan, tetapi
juga harus dibedakan dari agama. Garis pemisah di antara keduanya tidak tegas.”
Kesenian dan religi sangat berhubungan, hubungan yang erat itu melahirkan
kesenian religi yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara-upacara
keagamaan. Dengan diringi berbagai jenis sastra, nyanyian dan musik, upacara
keagamaan berlangsung dengan semarak, khidmat dan turut membantu mewujudkan
situasi dan keadaan yang membuat umatnya terasa semakin lebih dekat dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian adalah sebagai sarana penyaluran bakti dan
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
F.
Hubungan Bahasa dengan Budaya atau Geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan
kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakanbagian dari kebudayaan,
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal
yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat
dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,sehingga
segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.begitu pula
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan
dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana
dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa
bagian dari kebudayaan. Jadi, hubunganantara bahasa dan kebudayaanmerupakan
hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasadan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwabahasa dan kebudayaan
merupakan dua sistem yang melekat pada manusia.Kalau kebudayaan itu adalah
sistem yang mengatur interaksi manusia didalam masyarakat, maka kebahasaan
adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai saranaberlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,dua
buah fenomena sangat erat sekalibagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu
sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Komponen-komponen lingkungan hidup tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu
komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik adalah makhluk hidup yang
meliputi hewan, tumbuhan danmanusia. Komponen abiotik adalah benda-benda tak
hidup (mati) antara lain air,tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Semua
komponen yang berada di dalamlingkungan hidup merupakan satukesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dan membentuk sistem kehidupan yangdisebut ekosistem.Antara
komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan
kesatuan ekologi yangdisebut ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu kesatuan
fungsional antara komponen biotik dan komponen abiotik.Ekosistem merupakan
suatu interaksi yang komplek dan memiliki penyusunan yang beragam.Efek langsung
perubahan iklim terhadap kesehatan manusia tidaklah mudahdirumuskan.Definisi
perubahan iklim dan efek langsung bervariasi. Iklim mencakup perubahan suhu
permukaan bumi, yang dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan lingkungan
biota suatu daerah.Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat
di muka bumi. Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju,tumbuh‐tumbuhan, dan setelah itu hewan,termasuk organisme mikro.
Jika kita analisis perubahan suhu permukaan salah satu bagian bumi, sebagai
penyebab perubahan lainnya, maka efek yang paling langsung terhadap kesehatan
masnusia adalah efek ekstrim dingin dan ekstrim panas,relatif terhadap rentang
suhu yang toleransi manusia, tanpa manipulasi diri atau lingkungan.Ketika
gelombang panas melanda Eropa,banyak kematian penduduk lanjut usia tidak
terhindarkan. Seperti dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas
yang menyerang Perancis di bulan Juli dan Agustus 2003telah menewaskan lebih
dari 14.800 orang.Kematian tersebut merupakan dampak langsung dariiklim ekstrim
panas.sesungguhnya efek iklim terhadap kesehatan secara tidak langsung sudahdikenal
sejak lama. Kita mengenal siklusdemam berdarah yang terkait dengan musim hujan.
Begitu juga dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan
sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim
melalui perubahan kehidupan vektor atau bahan bahan transmisi penyebab
penyakit.
Geografi agama dikembangkan oleh beberapa
tokoh antara lain Jongeneel,P. Deffontaines, dan D.E. Sopher.Geografi agama
bukan hanya menelaah pengaruh ruang atas agama dan gejala keagamaan namun juga
sebaliknya yakni pengaruh agama dan gejala keagamaan atas keruangan.Relasi
antara agama dan tata ruang sebenarnya sudah diketahui sejak zaman kuno, salah
satu tokohnya yaitu Hippocrates namun baru mulai populerdi zaman filsuf
pencerahan salah satunya oleh Montesquieu di Prancis.Montesquieu mengungkapkan
bahwa agama monotheisme seprti Yahudi,Kristen, dan Islam lahir di tepi-tepi
gurun pasir dengan bentang alam yang monoton diungkapkanpula bahwa hampir semua
agama besar muncul diwilayah permukaan bumi yang diapit 25 dan 35
derajat Lintang Utara. Deffontaines membicarakan geografi
agama dalam 5 pokok:
1.
Agama dan
geografi sebagai tempat kediaman baik bagi orang yang masih hidup maupun bagi
yang sudah matiserta bagi dewa-dewa.
2.
Agama dan
penduduk; pengaruh agama atas daerah dan sejarah penduduk; agama dan
macam-macampenduduk; agama dan kota-kota; agama dan demografi.
3.
Agama dan
eksploitasi; agama dan pertanian; agama dan peternakan; agama dan industri;
agama danpotensi geografis daerah.
4.
Agama dan lalu
lintas; pengungsianpara penganut agama; kegiatan ziarah; perdagangan dan
pertukaran barang atas latar belakang agama; jalan sebagai alat transportasi.
5.
Agama dan jenis
kehidupan; kalender agama; tata kerja pemimpin agama; pekerjaan sehari-hari kebiasaan.
Melville
J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
a. Alat-alat
teknologi.
b. Sistem
ekonomi.
c. Keluarga.
d. Kekuasaan
politik-Politik.
Bronislaw
Malinowski mengatakanada 4 unsur pokok yang meliputi:
1.
Sistem norma sosial yang memungkinkan
kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam
sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembagapendidikan utama).
4. Organisasi kekuatan (politik).
Kebudayaan
material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat
yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah
temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah
liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.Kebudayaan material juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakarlangit, dan mesin cuci.
Kebudayaan
nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang
diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat,
dan lagu atau tarian tradisional.
G.
Hubungan Bahasa dengan Pranata Sosial
Kehidupan bermasyarakat selalu
menimbulkan hubungan antar manusia dalam suatu lingkungan kehidupan tertentu. Sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain untuk berinteraksi dan saling
memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
Pranata sosial berasal dari bahasa asing social
institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya
sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut Horton dan Hunt (1987),
yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai
suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata
lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang
mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi
kegiatan pokok warga masyarakat.
Tiga kata kunci di dalam pembahasan mengenai pranata
sosial adalah:
1. Nilai dan Norma;
2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut
prosedur umum, dan
3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status
yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum
yang berlaku.
Menurut Koenjaraningrat (1978)
yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi
wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut
pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan mereka.
Pranata sosial adalah sesuatu yang
bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan
dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi
sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
Pranata sosial terdapat dalam
setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun masyarakat kompleks atau
masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan mutlak adanya suatu
masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal bersama
membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan
masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan
guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan
seiring dengan semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di atas telah membuktikan
bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia. Secara umum, tujuan utama
diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia
dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan
sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan
kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Sumarsono & Partana, Paina.
2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina,
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Mata Kuliah Sosiolinguistik,
Universitas Pendidikan Indonesia Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa.
Bandung:Angkasa
Badudu, J.S.1989. Inilah Bahasa
Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia Pateda, Mansyur.1987.
Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa
Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung:Angkasa
Trudgill, P.1974, Sociolinguistics:
An Introduction, England: Penguin.
Labov, W. 1966 “Hypercorrection by
the Lower Middle Class as a Factor in Linguistic Change”, dalam W.Bright,
Sosiolinguistics, The Hague:Mouton.
Hasan, Kailani. 2001.
Linguistik Umum dan Sosiolinguistik Pekanbaru: Universitas Riau Press.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar
Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama
http://anaksastra.blogspot.com/2009/05/hubungan-bahasa-dengan-konteks-sosial.html
diunduh pada 30 maret 2015 pukul 18.00 WIB
http://nhanybima.blogspot.com/2012/05/hubungan-bahasa-dengan-faktor-sosial.html
diunduh pada 30 maret 2015 pukul 18.10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar