PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
A. Sekilas
Mengenai Sosiolinguistik
Istilah
sosiolinguistik sebagai istilah yang dipergunakan oleh H. Curee dalam sebuah
karangan yang dimuat dalam A. Various Language. J.A.Fishman sendiri membedakan
istilah sosiolnguistik dan sosiologi bahasa. Sosiolinguistik menurut fishman
lebih bersifat kualitatif, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya
kalau sosiolinguistik mementingkn pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam
konteks sosialnya, maka sosiologi bahsa mementingkan keragaman bahasa sebagai
akibat pelapisan social yang terdapat dalam masyarakat.(Dr.Mansoer Pateda,
1987:2)
Sosiolinguistik
merupakan pondasi linguistik pendidikan yang terdiri atas variasi bahasa,
interaksi dengan menggunakan berbagai bahasa, adanya gender, etnisitas, dan
jaringan sosial sebagai dasar penggunaan bahasa yang beragam, masyarakat
multilingual dan munculnya kontak bahasa (Spolsky, 2008:66-76). Selain itu
sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (1998: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial,
antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup.
Dittmar (1976: 128; Chaer dan Agustina, 2010: 5) mengemukakan tujuh
dimensi sosiolinguistik yang telah dirumuskan pada tahun 1964, di University
of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam
sosiolinguistik.
B. Variasi bahasa, interferensi dan
etnografi komunikasi
Chaer (2003: 53) mengemukakan bahwa bahasa merupakan
satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan
gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya
dan bermasyarakat. Manusia sebagai pengguna bahasa tersebut bukanlah manusia
yang homogen melainkan sekolompok individu yang heterogen. Berdasarkan alasan
tersebut bahasa muncul
dengan berbagai variasi seperti variasi bahasa berdasarkan pengguna dan
penggunaanya. Pada pembahasan ini akan diulas mengenai variasi bahasa. Chaer
dan agustina (2010: 66) mengemukakan sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan
dengan tingkat, golongan, status, dan kelas para penuturnya, muncullah bahasa
yang disebut akrolek, basilek, mesolek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot,
ken dan prokem.
Interferensi
adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan
dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu
bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi
fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada
kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul.
Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa. Interferensi
sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendiriètoko
laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada
kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa
Sunda). Di samping itu, Alwasilah(1985 :132) mengatakan interferensi berarti
adanya saling pengaruh bahasa. Pengaruh itu dalam bentuk yang paling sederhana
berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya
dengan bahasa lain.
Etnografi komunikasi merupakan kajian tentang
kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik ,misalnya tentang adat
istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat
dekat dengan etnografi adalah etnologi, kajian bandingan tentang kebudayaan
dari berbagai masyarakat atau kelompok.(sumarsono, 2011: 309)
Menurut
Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan
kajiannya, yaitu etnografis landasannya, dan komunikatif rentangannya dan jenis
kerumitannya yang terkait.
Etnografi
komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel, 2003: 3) bahwa
studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan nilai-nilai
yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana komunikasi
lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji
struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek
budaya lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui
teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.
1. S: (situation), terdiri
atas setting dan scene. setting menunjuk pada
waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan, Scene
mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal
berubah menjadi informal.
2. P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim
dan penerima.
3. E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan
hasil.
4. A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
5. K: (key), mengacu pada nada,
cara, atau semangat penyampaian pesan
6. I: (instrumentalities), menunjuk
pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan,
tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa
dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan
dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti
bahasa standar vs vernakular).
7. N: (norms), mengacu pada
aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan
norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan,
perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh
partisipan dalam tuturan.
8. G: (genres), mencakup jenis
bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa
perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.
C. Pengajaran
bahasa dan sastra
Pengajaran
merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu
proses saling mempengaruhi antara pengajar dan siswa. Diantara keduanya
terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola
yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6).
Brown
(2007:8-9) menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi
pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi
pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan metode dan
teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
1.
Pengajaran bahasa
Pengajaran
bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan
pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa
yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang
harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.
2.
Pengajaran sastra
Pengajaran
sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman siswa.
Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan
masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya.
Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah
dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang
selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran
sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan
masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam
masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan
pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca
terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling
berkaitan.
Pengajaran
bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada
pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang
apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan.
Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar
memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat
tempat dihati siswa. Pengajaran sastra diberbagai jenjang pendidikan selama ini
dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru
yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Hakikat dari tujuan
pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan
penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya
warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang
mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.
D. PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM
PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Penerapan
sosiolinguistik yang tak boleh diabaikan adalah aplikasinya dalam pendidikan.
Bagaimana interaksi kebahasaan dalam proses belajar mengajar sangat penting
diketahui. Persoalannya ialah apakah pengajaran bahsa dapat menyebabkan anak
didik menggunakan suatu bahasa menurut kaidah-kaidah dan tidak mempersoalkan
bagaimana penerapan kaidah dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Penerapan
sosilinguistik dalam pengajaran bahasa bukan berarti kita mengajarkan
sosiolinguistik kepada murid-murid, tetapi kita (guru bahasa) harus membentengi
diri dengan pengetahuan sosiolinguistik. Pengetahuan sosiolinguistik diperlukan
agar materi yang kita berikan kepada anak didik dapat mereka cerna dan dapat
dipergunakannya dalam kehidupan sehari-hari.(mansoer pateda, 1987:98)
Dalam sosiolinguistik
mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi
khususnya dalam pengajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Fishman (1967:
15; Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa sosiolinguistik menjelaskan bagaimana
menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu dengan memperhatikan,
“ who speak, what language, to whom, when, and to what end”.
Parera (1989:11-13) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap
aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa
sebagai berikut.
Tahap aplikasi pertama adalah tahap
deskripsi linguistik.
Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa
yang diajarkan. Secara tidak langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan
isyarat bahwa teori struktural dan sosiolinguisrik merupakan
bagian dari lingusitik yang menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan
pengajaran bahasa.
Tahap aplikasi kedua berhubungan
dengan isi silabus.
Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun
mengajarkan bahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini
kita akan melakukan desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Pemilihan
bahan sangat erat sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika
bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk
pengguna bahasa asing, seluk-beluk variasi dialek, perbandingan
interlingual dan perbandingan antara dua bahasa.
Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan
pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang
lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini
harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik
sebagai bahan pengajaran (materi yang dimasukkan silabus) yang nanti juga
menentukan alat, bahan dan sumber pembelajaran dan pendekatan proses (teknik
presentasi) seperti pendekatan kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif,
koordinatif dan lain sebagainya dalam belajar mengajar.
Dalam
pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana
penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam
pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman
dalam berinteraksi, yakni mengetahui
siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama guru atau kepala sekolah,
bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa tersebut digunakan
karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa tentu akan
berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru. Ada pula
pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi formal atau
nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu akan
berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh
sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya
tujuan untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan
ketika menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik dalam interaksi
pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.
Aplikasi
berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi bahasa yang
digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249) yang
menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.
Persona
|
Makna
|
|||
Tunggal
|
Jamak
|
|||
Netral
|
Eksklusif
|
Inklusif
|
||
Pertama
|
Saya,
aku, aku, ku-,-ku
|
Kami
|
Kita
|
|
Kedua
|
Engkau,
kamu, anda, dikau, kau, -mu
|
Kalian,
kamu, sekalian, anda, sekalian
|
||
Ketiga
|
Ia,
dia, beliau, -nya
|
Mereka
|
||
Sosiolinguistik
menjelaskan penggunaan pronomina tersebut dengan mengklasifikasikan variasi
bahasa berdasarkan umur, pendidikan,
tingkat keformalan, topik dan jalur
pembicaraan dengan klasifikasi tersebut pengguna bahasa akan dengan
mudah menggunakan masing-masing pronomina persona.
Kontribusi
sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa dapat dilihat melalui aplikasi
linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa.
Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah yang
rumit banyak faktor dan kondisi yang melilit persoalan linguistik. Faktor
pertama adalah kemajemukan bangsa yang berarti juga kemajemukan budaya dan
bahasa. Ada tiga masalah yang dihadapi dan masing-masing memerlukan kebijakan.
Ketiga masalah itu ialah masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah , dan
masalah bahasa asing. Faktor kedua ialah keberagaman bahasa daerah dalam jumlah
yang sangat besar. Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh ribuan suku dan
budaya, diperkirakan 500 bahasa daerah terdapat di negara kita ini. Oleh karena
itu, masalah yang timbul ialah mengenai pembakuan bahasa. Faktor ketiga ialah
faktor kontak bahasa. Masalah yang timbul akibat kontak bahasa tersebut yakni
masalah timbulnya campur kode dan interferensi. Tampubolon mengemukakan perlu
adanya adopsi dan importasi. Adopsi adalah proses pengambilan dan penggunaan
kosakata bahasa daerah secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai
dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Alasan utama mengadakan
adopsi dan importasi ialah tidak adanya kosakata yang tepat dalam bahasa
bersangkutan untuk menyatakan suatu ide. Sedangkan alasan lain ialah (1) untuk
membentuk suatu ragam khusus, (2) untuk tujuan eufimismistis atau gaya topeng.
Sedangkan gejala importasi berlebihan ialah proses pemasukan dan penggunaan
kosa kata bahasa asing secara tidak atau kurang berlebihan dan tidak sesuai
dengan kebutuhan yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri,
sehingga sering membingungkan. Alasan lain adanya importasi ialah (1) pengaruh
hubungan bisnis luar negeri sebagai alasan yang paling kuat dan (2) gengsi
sebagai alasan yang kurang kuat. Dampak dari importasi berlebihan ialah
alienasi bahasa, kerancuan struktural, dan kerancuan kognitif. Faktor keempat
adalah sikap mental anggota masyarakat Indonesia yang negatif. Sikap negatif
yang menonjol ialah (1) penggunaan unsur asing yang tidak perlu (2) penggunaan
bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah : kaidah ucapan, kaidah bentukan
kata, kaidah bentukan kaliat, kaidah ejaan dan tanda baca.masalah terakhir
ialah penggunaan bahasa asing yang terkesan fanatisme berlebihan. Kebijakan
bahasa dapat dikatakan sebagai garis haluan yang menjadi dasar dalam
perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan kebahasaan. Kebijakan menganai
bahasa nasional dimulai pada sumpah pemuda. Alasan dari kebijakan ini (1)
embrio bangsa Indonesia sudah mampu menentukan sikap politik yang penting dalam
memikirkan negara (2) penentuan bahasa Indonesia itu menunjukkan wawasan yang luas
dan jauh ke depan masyarakat Indonesia, khususnya pemuda dalam memikirkan masa
depan bangsa. Fungsi bahasa nasional (1) lambang kebanggaan nasional, (2)
lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku
bangsa dengan latar belakanh sosial budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda,
ddan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Kebijakan tentang bahasa
negara terjadi pada tahun 1945. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah,
dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kebijakan
tentang bahasa daerah dapat dilihat pada penjelasan UUD 1945 pasal 36. Bahasa
daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas
daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Kebijakan mengenai bahasa asing berfungsi (1) alat perhubungan antarbangsa, (2)
alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.
Kebijakan tentang kelembagaan dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan
pengembangan Bahasa yang bertugas melaksanakan penelitian, pembinaan dan
pengembangan bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh
Menteri pendidikan dan kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dibantu
oleh UPT yang disebut Balai Bahasa. Kebijakan tentang penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar dapat dideskripsikan, bahasa yang baik adalah
bahasa yang digunakan sesuai kaidah kebahasaan :ucapan, kosakata, gramatika dan
ejaan. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan
sesuai dengan konteks penggunaan : partisipan, situasi, media, topik, waktu dan
tempat.
Perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan
administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. Target
terpenting dalam perencanaan bahasa Indonesia ialah pembakuan. Pembakuan adalah
Proses pengangkatan satu ragam bahasa menjadi ragam yang diterima secara meluas
di kalangan masyarakat bahasa sebagai ragam supradialektal sebagai bentuk
“terbaik” di atas dialek-dialek local dan sosial. Bahasa baku perlu memiliki
sifat kemantapan dinamis. Fungsi dari bahasa baku yakni fungsi pemersatu,
fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda tempat tertinggi atau gengsi
tertinggi, dan fungsi kerangka acuan atau ukuran untuk menentukan ketepatan
penggunaan bahasa. Pengembangan kosakata dapat berupa hilangnya kata dari
penggunaan, munculnya kata lama dalam penggunaan baru, munculnya kata dengan
makna yang baru, munculnya kata baru, dan munculnya kata dengan bentukan baru.
Terdapat empat stategi dalam pemekaran sumber bahasa sendiri yakni pemerian
makna baru, terhadap kata yg sudah ada, pengaktifan kembali unsur lama yang
sudah mati, penciptaan bentukan baru, dan penciptaan akronim. Pemekaran bahasa
yang serumpun memiliki kemudahan karena kesamaan atau kemiripan sistem
fonologis, morfologis dan sintaksis. Sedangakan untuk bahasa asing
syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai dasar pemekaran adalah istilah
asing lebih cocok karena konotasinya, karena cocok konotasinya, istilah asing
memudahkan pengalihan antarbahasa mengingat keperluan masa depan serta
memudahkan tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak
sinonimnya. Dari cara membentuk istilah dari bahasa asing, langkah-langkah
berikut merupakan urutan, penerjemahan, adaptasi lalu adopsi.